Cerpen: Kau Menyalakan Lilin Di Altar, Dan Nyalanya Membentuk Wajahku
Kau Menyalakan Lilin di Altar, dan Nyalanya Membentuk Wajahku
Kabut tipis menyelimuti Pagoda Giok, tempat kami tumbuh bersama. Aku, Lian, dan dia, Mei. Kami bukan saudara sedarah, tapi terikat sumpah setia di bawah pohon Magnolia yang mekar setiap musim semi. Mei, dengan senyum secerah mentari pagi, dan aku, Lian, yang selalu berjalan di bayang-bayangnya. Kami berdua calon pewaris Klan Naga, sebuah kehormatan yang seharusnya memecah kami, namun justru semakin mengikat.
"Lian, kau tahu aku akan selalu melindungimu," bisiknya suatu malam, di bawah rembulan yang pucat. Matanya berkilat, seolah menyimpan lautan rahasia. Aku percaya. Bodohnya, aku percaya.
Waktu berlalu. Persaingan semakin sengit. Ujian demi ujian menguji bukan hanya kekuatan, tapi juga kesetiaan. Di balik tawa dan pujian, aku merasakan ada yang berubah. Senyum Mei terasa dingin, tatapannya tajam seperti belati.
"Apakah kau benar-benar mempercayaiku, Lian?" Tanyanya suatu hari, saat kami berlatih pedang di tengah hujan. Pedangnya menari, nyaris menyentuh leherku.
"Tentu saja, Mei. Kita bersumpah," jawabku, berusaha menyembunyikan keraguan yang mulai menggerogoti hatiku.
Namun, keraguan itu terbukti benar. Dalam sebuah malam yang berdarah, Klan Naga diserang. Pengkhianatan merajalela. Aku melihatnya. Mei, berdiri di samping para penyerang, pedangnya berlumuran darah orang-orang yang kukenal.
"Kenapa, Mei? Kenapa kau lakukan ini?!" teriakku, hatiku hancur berkeping-keping.
Dia hanya tersenyum sinis. "Kau terlalu naif, Lian. Klan ini terlalu kecil untuk kita berdua. Hanya ada satu pewaris, dan itu akan menjadi aku."
Di altar tua Klan Naga, dia menyalakan lilin. Cahayanya menari-nari, membentuk bayangan yang aneh. Saat aku menatap nyala lilin itu, aku melihat wajahku sendiri. Bukan bayanganku, tapi wajahku yang sebenarnya. Wajah yang telah dikhianati.
"Aku yang seharusnya menjadi pewaris, Lian. Kau... kau hanyalah bidak dalam permainanku," bisiknya, sebelum menebas pedangnya.
Namun, aku tidak mati. Luka yang kuterima hanya menyulut api yang lebih besar: BALAS DENDAM. Aku menghilang, berlatih di tempat-tempat terpencil, mengasah kemampuan, dan merencanakan pembalasan. Tahun demi tahun berlalu.
Akhirnya, saat yang kutunggu tiba. Aku kembali ke Pagoda Giok, bukan sebagai Lian yang dulu, tapi sebagai bayangan kematian. Aku menemukan Mei, duduk di singgasana yang seharusnya menjadi milikku.
"Selamat datang kembali, Lian. Aku sudah menunggumu," ucapnya, tanpa sedikit pun rasa takut.
Pertarungan kami berlangsung sengit. Pedang beradu, kilat menyambar, dan dendam berteriak di setiap gerakan. Di tengah pertarungan, aku mengungkap kebenaran.
"Kau tidak tahu seluruhnya, Mei. Klan ini tidak diserang secara kebetulan. Kau dikendalikan, diperalat oleh seseorang yang lebih berkuasa. Kau hanyalah pion, sama seperti aku!"
Wajahnya memucat. Keraguan mulai muncul di matanya. Aku melihat celah itu, dan menyerang. Pedangku menembus jantungnya.
Saat dia terbaring di tanah, napasnya tersengal, aku berbisik di telinganya, "Kau menyalakan lilin di altar, Mei, dan nyalanya membentuk wajahku… Wajah yang seharusnya kau takuti sejak awal."
Dia menatapku dengan mata kosong, sebelum mengucapkan satu kalimat terakhir: "...Aku...menyesal...tidak...mencintaimu...lebih dulu..."
You Might Also Like: 7 Fakta Interpretasi Mimpi Memberi