Endingnya Gini! Aku Menulis Doa, Tapi Tuhan Sudah Memihakmu
Aku Menulis Doa, Tapi Tuhan Sudah Memihakmu
Hujan selalu berbisik di atas batu nisannya. Setiap tetes adalah isakan yang tak terucap, mewakili kata-kata yang tertahan di antara dunia nyata dan alam baka. Aku berdiri di sana, bayangan yang menolak pergi, terikat pada kenangan dan penyesalan yang belum usai. Aku adalah roh, hantu yang gentayangan bukan karena dendam, melainkan karena sebuah kebenaran yang belum terungkap.
Dulu, aku adalah Lin Wei. Sekarang, aku hanyalah angin sepoi-sepoi yang menyapu rerumputan di sekitar pusaraku sendiri. Dunia tempat manusia berlalu lalang, tertawa, dan mencintai, terasa begitu jauh, begitu asing. Aku bisa melihat mereka, merasakan getaran emosi mereka, tapi aku tak bisa menyentuh, tak bisa bicara. Aku hanya bisa mengamati, sepi, dan berharap.
Aku ingat malam itu, malam ketika hidupku direnggut paksa. Pertengkaran, amarah, dan kemudian... kegelapan. Aku tak sempat mengucapkan apa pun. Kebenaran tentang perasaanku, tentang siapa yang sebenarnya bersalah, semua itu terkubur bersamaku.
Kini, aku kembali. Bukan untuk membalas dendam pada Zhang Wei, pria yang dulu kukenal sebagai sahabat, yang kini kutahu sebagai pengkhianat. Bukan untuk menuntut keadilan yang tak mungkin kudapatkan. Aku kembali untuk mencari kedamaian. Kedamaian bagi diriku sendiri, dan mungkin... baginya juga.
Setiap malam, aku mengamati Zhang Wei. Dia hidup dalam bayang-bayang kesalahannya, dihantui oleh tatapanku yang tak kasat mata. Aku melihat penyesalannya, rasa bersalah yang menggerogoti jiwanya. Awalnya, ada secercah kepuasan dalam hatiku yang mati. Namun, semakin lama, aku semakin merasa iba.
Aku menulis doa di atas dedaunan yang berguguran, menitipkannya pada angin malam. Doa tentang pengampunan, tentang pembebasan. Doa tentang cahaya yang akan menerangi jalan kami berdua.
Lalu, suatu malam, dia datang ke makamku. Di bawah rembulan pucat, dia berlutut dan menangis. Air matanya membasahi tanah merah tempatku berbaring.
"Lin Wei... aku minta maaf. Aku tahu kau mendengarku. Aku... aku menyesal," ucapnya dengan suara bergetar.
Aku mendekat, berusaha menyentuhnya, namun tanganku hanya menembus tubuhnya. Aku ingin mengatakan sesuatu, apa saja, tapi suaraku telah hilang ditelan keabadian.
Saat itulah, aku melihatnya. Cahaya lembut menyelimutinya, cahaya yang sama yang kurasakan ketika pertama kali menjadi roh. Cahaya yang membawaku ke tempat ini, cahaya yang memberiku harapan.
Zhang Wei mulai menceritakan semuanya. Tentang rencananya, tentang ketakutannya, tentang penyesalan yang menghantuinya setiap detik. Dia mengakui segalanya di depan nisan batu, memohon ampun padaku, pada dirinya sendiri, dan pada Tuhan.
Saat dia selesai, aku merasakan beban berat terangkat dari pundakku. Semua kata yang tertahan akhirnya terucap, semua kebenaran akhirnya terungkap. Bukan olehku, tapi olehnya.
Aku mengulurkan tanganku sekali lagi, dan kali ini... aku berhasil menyentuhnya. Sentuhan itu singkat, ringan, namun cukup untuk menyampaikan segalanya.
Aku telah menemukan kedamaian. Bukan dalam balas dendam, tapi dalam pengampunan. Bukan dalam keadilan, tapi dalam kebenaran.
Dan saat fajar menyingsing, aku tahu waktuku telah tiba. Cahaya itu semakin terang, menarikku kembali ke sisi-Nya.
...Dia akhirnya tahu bahwa aku tidak pernah membencinya, hanya menyayanginya sebagai seorang sahabat.
You Might Also Like: Interpretasi Mimpi Memberi Makan Kucing