Kisah Populer: Aku Berdoa Agar Kau Berhenti Mencintaiku, Tapi Diam-diam Aku Takut Doaku Dikabulkan
Hujan turun di atas makamnya, tidak deras, hanya rintik yang menyelimuti batu nisan dengan selimut berkilauan. Di bawah rintik itu, aku berdiri, bukan sebagai manusia, melainkan sebagai bayangan yang mencoba menggapai cahaya mentari di musim gugur. Dulu, aku Li Wei. Sekarang, aku hanya sisa napas yang tertinggal, aroma teh melati yang gagal diseduh, sebuah nama yang berbisik di antara hembusan angin.
Aku mati sebelum sempat mengatakan apa pun. Kata-kata itu membeku di kerongkongan, menjadi bongkahan es yang menghalangi jalanku menuju keabadian. Kata-kata tentang dia. Tentang cinta yang tumbuh seperti lumut di bebatuan, indah namun menyesakkan. Tentang penyesalan yang kini menghantui setiap sudut ketiadaanku.
Dulu, aku berdoa. Berdoa agar dia, Mei Lan, berhenti mencintaiku. Aku tidak pantas untuknya. Aku adalah kegelapan yang bersembunyi di balik senyum, rahasia yang membusuk di balik kulit. Aku ingin dia bebas, terbang tinggi seperti burung phoenix, menjauhi sarang laba-laba yang kurajut dengan kepalsuan.
Tapi, di kedalaman jiwaku yang paling sunyi, aku takut doaku dikabulkan.
Sekarang, aku di sini, di antara dunia hidup dan dunia arwah, terjebak dalam labirin waktu. Aku melihatnya. Mei Lan. Matanya masih menyimpan sisa-sisa air mata, bibirnya masih melengkung membentuk nama yang dulu sering terucap – namaku.
Bayanganku mengekorinya, mencoba menyentuhnya, tapi hampa. Aku ingin berteriak, menjelaskan, MEMINTA MAAF, tapi suaraku hanya angin yang berdesir di antara daun-daun maple.
Aku mengikuti jejaknya, dari rumah kita yang kini terasa asing, ke taman tempat kami pertama kali bertemu, ke kedai teh tempat aku selalu membohonginya. Setiap tempat adalah pengingat akan dosa-dosaku, paku yang semakin dalam menancap di hatiku yang tak lagi berdetak.
Semua orang mengira aku mati karena kecelakaan. Kecerobohan. Tapi, aku tahu kebenarannya. Sebuah pengkhianatan. Sebuah konspirasi. Sebuah rencana jahat yang dilancarkan oleh… DIA.
Awalnya, aku berpikir aku datang untuk membalas dendam. Untuk membuat mereka membayar atas apa yang telah mereka lakukan. Tapi, semakin aku melihat Mei Lan menderita, semakin aku merasakan kehampaan. Dendam tidak akan membawaku kemana pun. Dendam hanya akan memperpanjang penderitaan.
Yang kubutuhkan bukan balas dendam. Yang kubutuhkan adalah… kedamaian. Kedamaian untukku, untuk Mei Lan, untuk jiwaku yang terluka.
Aku menuntunnya. Membisikkan petunjuk di telinganya lewat mimpi. Memperlihatkan bayangan masa lalu yang tersembunyi di balik tabir kebohongan. Aku ingin dia tahu kebenaran. Bukan untuk membangkitkan amarah, tapi untuk membebaskannya.
Akhirnya, dia menemukannya. Bukti. Kebenaran yang selama ini terkubur di bawah tumpukan dusta. Air mata mengalir deras di pipinya, tapi kali ini, bukan hanya air mata kesedihan. Ada air mata kemarahan. Air mata kebebasan.
Mei Lan akhirnya tahu. Dia tahu siapa yang membunuhku. Dia tahu mengapa aku meninggalkannya.
Dia berdiri di depan makamku, di bawah rintik hujan yang sama. Kali ini, tidak ada lagi kesedihan. Hanya tekad.
Aku melihatnya mengangkat kepalanya, menatap langit yang kelabu. Aku melihat senyum tipis menghiasi bibirnya.
Dan aku tahu, tugasku selesai. Aku bisa pergi sekarang.
Ah, akhirnya…
You Might Also Like: Jual Skincare Aman Untuk Kulit Sensitif