Cerita Populer: Aku Mencintaimu Lebih Dari Yang Bisa Kubayar
Hujan kota membasahi jendela kafe, sama basahnya dengan mataku. Aroma kopi robusta, yang dulu jadi saksi bisu tawa kita, kini hanya menguarkan kenangan pahit. Notifikasi ponsel berkedip-kedip tanpa ampun, menampilkan nama yang DULU selalu kutunggu. Sekarang? Hanya menyisakan perih.
Ini bukan drama klise tentang cinta segitiga atau perbedaan status sosial. Ini tentang utang, yang bukan berupa uang, tapi berupa hati. Utang yang kubuat sendiri, ketika aku terlanjur mencintaimu lebih dari yang bisa kubayar.
Kita bertemu di dunia maya. Awalnya sekadar saling melempar meme dan berbagi playlist Spotify. Lalu, obrolan larut malam, mengungkap mimpi-mimpi yang terlalu indah untuk diwujudkan. Suaramu, bagai melodi piano yang menenangkan, selalu berhasil mengusir kegelisahanku. Kita merajut dunia paralel di antara notifikasi dan chat yang tak terkirim.
Kau, dengan senyum simpul yang misterius dan tatapan mata yang menyimpan samudra rahasia. Aku, dengan segala kebodohan dan keyakinan bahwa kita ditakdirkan.
Lalu, kau pergi. Tanpa penjelasan. Tanpa pamit. Hanya sisa chat yang membeku di layar ponsel, menjadi artefak dari hubungan yang belum selesai.
Aku mencoba mencari jawaban. Mengorek masa lalu, menelusuri jejak digitalmu. Setiap sisa kopi yang kuhirup di kafe favorit kita, setiap tetes hujan yang jatuh di pipiku, mengingatkanku padamu. Aku bagai detektif amatiran yang mencoba memecahkan teka-teki yang kau tinggalkan.
Dan kemudian, aku menemukan ITUsatuRahasiaTERBESAR yang kau simpan rapat-rapat. Rahasia yang membuatku mengerti mengapa kau pergi. Rahasia yang membuatku patah hati untuk kesekian kalinya.
Rahasia tentang seorang perempuan, dengan nama yang sama, wajah yang mirip, tapi hati yang berbeda. Saudara kembarmu, yang menderita penyakit langka. Kau mencintaiku, tapi kau lebih mencintai keluargamu. Kau memilih mengorbankan kebahagiaanmu, demi menyelamatkan nyawa saudara kembarmu. Utangmu lebih besar dari utangku.
Lantas, bagaimana aku membalas dendam? Bukan dengan amarah atau makian. Bukan dengan air mata atau penyesalan. Tapi dengan keheningan.
Aku membalasnya dengan pesan terakhir yang kubuat. Pesan yang tak pernah kukirim. Aku menghapusnya sebelum jari telunjukku menyentuh tombol send.
Aku membalasnya dengan senyum terakhir. Senyum yang kupaksakan di depan cermin, membayangkan kau di sana. Senyum yang menandakan bahwa aku sudah merelakanmu.
Aku membalasnya dengan keputusan yang menutup segalanya tanpa kata. Aku menghapus nomormu. Aku memblokir akun media sosialmu. Aku menghapus semua foto kita.
Aku memilih untuk melangkah maju.
Dan, saat aku berjalan menjauhi kafe, meninggalkan aroma kopi dan kenangan tentangmu, aku tahu bahwa ini adalah akhir dari segalanya.
Aku mencintaimu lebih dari yang bisa kubayar… dan itu sudah cukup, bukan?
You Might Also Like: Carnivore Diet Meal Plan Herbivore